Selasa, 02 April 2013

Ramadhan Usai Pahala Tetap Tertuai


Ramadhan usai tak berarti ibadah selesai. Berapa banyak dari kita yang kembali bermalasan dan bergelimang maksiat di saat Syawwal menjelang. Masjid-masjid yang ketika awalnya tak sanggup menampung jama’ah yang hadir hingga membanjiri halaman, kembali senyap tak berpenghuni ketika akhir Ramadhan. Begitu pula amalan-amalan seperti tilawah Al qur’an, qiyamullail, shadaqah menjadi melemah bahkan menghilang.
Menimbang amalan


     Sebagian ulama’ salaf pernah ditanya tentang suatu kaum yang bersungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, tetapi jika bulan tersebut usai,mereka kembali bermalasan bahkan bergelimang dengan kemaksitan. Maka ia menjawab, “Betapa jeleknya kaum itu, mereka tidak mengenal Allah kecuali pada bulan Ramadhan saja.”
     Padahal jika kita tengok generasi salaful ummah, betapa mereka berlinang airmata melepas Ramadhan karena pesona lipat gandanya pahala di bulan tersebut. Kalau hanya sekedar jenis ibadah, barangkali itu bukan hal yang utama bagi mereka karena keseharian ibadah mereka tak jauh beda dengan ketika Ramadhan. Mereka terbiasa mengerjakan qiyamullail, tilawah Al Qur’an, Shadaqah, dan menjauhi berbagai bentuk kemaksiatan. Sisi keutamaan pahalalah yang menjadikan mereka berlinang airmata sehingga berdoa selama 6 bulan agar amalan selama Ramadhan di terima dan 6 bulan berikutnya berharap berjumpa kembali denga Ramadhan.
     Terlebih lagi kita, yang keseharian di luar Ramadhan jauh berbeda. Selayaknya kita lebih panjang tangis kesedihanya. Karena kita begitu mudah melaksanakan amal ketaatan di bulan Ramadhan, hal yang sulit kita dapatkan di luar Ramadhan. Mari kita bermuhasabah / merenung sejenak, mencoba menghitung dan menimbang kwantitas dan kualitas ibadah yang telah kita kerjakan selama sebulan. Jika amalan selama Ramadhan tak menyebabkan kita memperoleh ampunan, maka sepatutnya kita khawatir di bulan lainnya kita lebih sulit mendapatkan ampunan. Qotadah mengatakan, “Siapa saja yang tidak di ampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain ia pun akan sulit diampuni.” Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan,maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalang dari kebaikan yang banyak.”

Saat Syawwal menjelang

     Jika kita terasa telah banyak berbuat baik, saat itulah seharusnya kita tumbuhkan rasa khawatir kalau-kalau amalan kita tidak diterima. Hendaknya kita banyak berdoa agar amalan kita diterima dan membangun komitmen untuk menjaga qiyamullail, tilawatul qur’an, shadaqah dan amal kebaikan lainya di luar Ramadhan. Para shahabat telah mengajarkan kita doa untuk kita lantunkan saat hari raya datang, “taqabbalallahu minna wa minka.” (Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan kamu).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari, “Kami mendapatkan riwayat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair, beliau menceritakan bahwa para shahabat Nabi jika saling berjumpa pada hari ied mereka saling mengatakan “taqabbalallahu minna wa minka.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan dalam fatwanya, “Ucapan taqabbalallahu minna wa minka atau ucapan ahalahullahu ‘alaika yang dijadikan sebagai ucapan selamat hari raya yang diucapkan ketika saling berjumpa sepulang shalat hari raya  adalah ucapan yang diriwayatkan dari sejumlah shahabat bahwa mereka melakukanya. Karenanya banyak ulama  semisal Imam Ahmad membolehkan hal tersebut, hanya saja beliau mengatakan, “Aku tidak mau mendahului  untuk mengucapkan selamat hari raya namun jika ada yang memberi ucapan selamat hari raya kepadaku maka pasti akan aku jawab”. Beliau mengatakan demikian karena menjawab penghormatan hukumnya wajib sedangkan memulai mengucapkan selamat hari raya bukanlah sunnah Nabi yang diperintahkan, bukan pula hal yang terlarang. Siapa yang memulai mengucapkan selamat hari raya dia memiliki teladan dari para ulama dan yang tidak mau memulai juga memiliki teladan dari kalangan ulama”.

Kembali Suci

     Masih banyak yang berpersepsi bahwa makna iedul fithri adalah kembali suci. Suci dari dosa karena telah dibasuh dengan ibadah di bulan Ramadhan dan bermaafan di hari raya. Padahal makna sebenarnya adalah kembali makan dan tidak shaum, seperti kata Rasul dalam haditsnya. ”Dari Abu hurairah sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Puasa adalah dimana kalian berpuasa Fithri adalah hari dimana kalian berbuka dan Adha adalah hari dimana kalian berkurban. (HR. Tirmidzi) Tapi biarlah. Karena di bulan Syawwal ini  biasanya kita bermaaf-maafan, marilah kesalahan persepsi ini kita maafkan, lalu kita sebarkan pemahaman yang benar. Toh, akar persepsi tersebut tidak salah secara fatal. Artinya, berbagai amal shalih di bulan Ramadhan memang dijanjikan akan menghapus dosa, khususnya dosa kecil. Karena dosa besar harus disertai taubat, bahkan sebagianya ada tuntutan hukuman had. Adapun kesalahan terhadap sesama, dapat dihapus dengan saling bermaafan dan silaturrahmi yang sudah membudaya.     Ngomong-ngomong dalam soal penghapusan dosa, kita patut bersykur menjadi umat Nabi Muhammad yang terasa begitu dimudahkan oleh Allah dalam hal ini. Dibandingkan umat terdahulu, proses dan sarana penghapus dosa yang diberikan kepada kita jauh lebih mudah dan ringan. Lihat saja cara penebusan dosa bani Israel yang berat dimana bunuh diri adalah salah satunya. Sedangkan kita, tidak perlu menyakiti diri, cukup dengan memohon ampun dan menyatakan bertaubat, dosa bisa dihapuskan. Lebih dari itu berbagai amal kebaikan bisa membersihkan dosa sekaligus menambah pahala. Kalaupun ada tuntutan hukuman, tapi didalamnya terdapat despensasi dan keringanan. Puji syukur kepada Allah yang maha pengampun lagi maha penyayang. Karenanya, meskipun makna kembali suci bukan makna yang sebenarnya dari iedul fithri, tapi tentunya kitapun tidak akan  menolak jika pada hari ini kita menjadi suci karena  dosa-dosa terampuni. Dosa kepada Allah mendapat ampunan dengan amal ibadah yang dilakukan selama Ramadhan, kesalahan terhadap sesama termaafkan, dan dengan silaturrahim segala masalah dan perselisihan dapat terurai dan terselesaikan.  Untuk selanjutnya, tinggal bersiap mengisi lembar-lembar hari yang masih putih bersih dengan catatan amal yang lebih baik. Seperti kata-kata bijak, hidup manusia itu seperti sebuah buku.  Sampul depannya adalah tanggal lahir dan ajalnya menjadi penutupnya. Lembarannya adalah hari-hari yang dilalui, ada yang tebal ada yang tipis. Setiap hari manusia mencoreti lembaran hidupnya. Ada coretan yang bermanfaat, tapi tak jarang pula berujud maksiat. Tapi berkat kemurahan-Nya, seburuk apapun lembar yang telah kita lewati, masih ada lembar berikutnya yang kosong, disediakan untuk memperbaiki semuanya.  Nah, kita tidak tahu kapan kita akan ‘tutup buku’. Karenanya, selagi masih menjumpai matahari terbit, ada satu lembar putih yang insya Allah menjadi milik kita, untuk digunakan sebaik-baiknya. Memperbaiki yang rusak di lembar sebelumnya dan menjadi titik tolak perbaikan di lembar berikutnya hingga ajal tiba. Semoga di bulan ini, kita benar-benar kembali suci dan dapat terus menjaga kesucian diri hingga akhir nanti. Amin.

Sempurnakan dengan shaum Syawwal

     Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Iedul Fithtri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan yang datang setelah Ramadhan ini,  yaitu disunnahkannya mengerjakan shaum selama enam hari. Bersabda Rasulullah SAW :

مَنْ صَامَ رَمضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامٍ الدَّهْرِ

“Siapa yang mengerjakan shaum Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan shaum enam hari di bulan Syawwal, maka shaumnya itu seperti shaum setahun.” (HR. Muslim)
Kenapa pahalanya seperti shaum setahun ? Para Ulama menafsirkan bahwa kebaikan itu dilipat gandakan pahalanya menjadi sepuluh kali. Sehingga shaum Ramadhan yang dikerjakan selama sebulan dilipat gandakan senilai sepuluh bulan. Sementara shaum enam hari bila dilipat  gandakan sepuluh berarti memiliki nilai enam puluh hari yang berarti sama dengan dua bulan. Sehingga bila seseorang menyempurnakan shaum Ramadhan ditambah dengan shaum enam hari di bulan Syawwal, jadilah nilai shaumnya sama dengan shaum setahun penuh (12 bulan).
Ya, Ramadhan memang telah meninggalkan kita. Namun bukan berarti pupus sudah harapan kita untuk meraih kebaikan demi kebaikan, karena bulan-bulan yang datang setelah Ramadhan pun memberi peluang kepada kita untuk panen pahala. Akhirnya kami ucapkan, taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian). Semoga Allah menjadikan kita hamba yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan. Amin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar