Ramadhan usai tak berarti ibadah selesai. Berapa banyak dari kita yang
kembali bermalasan dan bergelimang maksiat di saat Syawwal menjelang.
Masjid-masjid yang ketika awalnya tak sanggup menampung jama’ah yang hadir
hingga membanjiri halaman, kembali senyap tak berpenghuni ketika akhir Ramadhan. Begitu pula amalan-amalan seperti tilawah Al qur’an, qiyamullail,
shadaqah menjadi melemah bahkan menghilang.
Menimbang amalan
Sebagian ulama’ salaf pernah ditanya tentang suatu kaum yang
bersungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, tetapi jika bulan tersebut
usai,mereka kembali bermalasan bahkan bergelimang dengan kemaksitan. Maka ia
menjawab, “Betapa jeleknya kaum itu, mereka tidak mengenal Allah kecuali pada
bulan Ramadhan saja.”
Padahal jika kita tengok generasi salaful ummah, betapa mereka berlinang
airmata melepas Ramadhan karena pesona lipat gandanya pahala di bulan tersebut.
Kalau hanya sekedar jenis ibadah, barangkali itu bukan hal yang utama bagi
mereka karena keseharian ibadah mereka tak jauh beda dengan ketika Ramadhan.
Mereka terbiasa mengerjakan qiyamullail, tilawah Al Qur’an, Shadaqah, dan
menjauhi berbagai bentuk kemaksiatan. Sisi keutamaan pahalalah yang menjadikan
mereka berlinang airmata sehingga berdoa selama 6 bulan agar amalan selama Ramadhan
di terima dan 6 bulan berikutnya berharap berjumpa kembali denga Ramadhan.
Terlebih lagi kita, yang keseharian di luar Ramadhan jauh berbeda.
Selayaknya kita lebih panjang tangis kesedihanya. Karena kita begitu mudah
melaksanakan amal ketaatan di bulan Ramadhan, hal yang sulit kita dapatkan di
luar Ramadhan. Mari kita bermuhasabah / merenung sejenak, mencoba menghitung
dan menimbang kwantitas dan kualitas ibadah yang telah kita kerjakan selama
sebulan. Jika amalan selama Ramadhan tak menyebabkan kita memperoleh ampunan,
maka sepatutnya kita khawatir di bulan lainnya kita lebih sulit mendapatkan
ampunan. Qotadah mengatakan, “Siapa saja yang tidak di ampuni di bulan
Ramadhan, maka sungguh di hari lain ia pun akan sulit diampuni.” Ibnu Rajab Al
Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan,maka
siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah
terhalang dari kebaikan yang banyak.”
Saat Syawwal
menjelang
Jika kita terasa telah banyak berbuat baik, saat itulah seharusnya kita
tumbuhkan rasa khawatir kalau-kalau amalan kita tidak diterima. Hendaknya kita
banyak berdoa agar amalan kita diterima dan membangun komitmen untuk menjaga
qiyamullail, tilawatul qur’an, shadaqah dan amal kebaikan lainya di luar
Ramadhan. Para shahabat telah mengajarkan kita doa untuk kita lantunkan saat
hari raya datang, “taqabbalallahu minna wa minka.” (Semoga Allah
menerima amal ibadah kita dan kamu).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul
Bari, “Kami mendapatkan riwayat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair,
beliau menceritakan bahwa para shahabat Nabi jika saling berjumpa pada hari ied
mereka saling mengatakan “taqabbalallahu minna wa minka.” Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah menyebutkan dalam fatwanya, “Ucapan taqabbalallahu minna wa
minka atau ucapan ahalahullahu ‘alaika yang dijadikan sebagai ucapan
selamat hari raya yang diucapkan ketika saling berjumpa sepulang shalat hari
raya adalah ucapan yang diriwayatkan
dari sejumlah shahabat bahwa mereka melakukanya. Karenanya banyak ulama semisal Imam Ahmad membolehkan hal tersebut,
hanya saja beliau mengatakan, “Aku tidak mau mendahului untuk mengucapkan selamat hari raya namun
jika ada yang memberi ucapan selamat hari raya kepadaku maka pasti akan aku
jawab”. Beliau mengatakan demikian karena menjawab penghormatan hukumnya wajib
sedangkan memulai mengucapkan selamat hari raya bukanlah sunnah Nabi yang
diperintahkan, bukan pula hal yang terlarang. Siapa yang memulai mengucapkan
selamat hari raya dia memiliki teladan dari para ulama dan yang tidak mau
memulai juga memiliki teladan dari kalangan ulama”.
Kembali Suci
Masih banyak yang berpersepsi bahwa makna iedul fithri adalah kembali
suci. Suci dari dosa karena telah dibasuh dengan ibadah di bulan Ramadhan dan
bermaafan di hari raya. Padahal makna sebenarnya adalah kembali makan dan tidak
shaum, seperti kata Rasul dalam haditsnya. ”Dari Abu hurairah sesungguhnya
Nabi SAW bersabda : Puasa adalah dimana kalian berpuasa Fithri adalah hari
dimana kalian berbuka dan Adha adalah hari dimana kalian berkurban. (HR.
Tirmidzi) Tapi biarlah. Karena di bulan Syawwal ini biasanya kita bermaaf-maafan, marilah
kesalahan persepsi ini kita maafkan, lalu kita sebarkan pemahaman yang benar.
Toh, akar persepsi tersebut tidak salah secara fatal. Artinya, berbagai amal
shalih di bulan Ramadhan memang dijanjikan akan menghapus dosa, khususnya dosa
kecil. Karena dosa besar harus disertai taubat, bahkan sebagianya ada tuntutan
hukuman had. Adapun kesalahan terhadap sesama, dapat dihapus dengan saling
bermaafan dan silaturrahmi yang sudah membudaya. Ngomong-ngomong dalam soal penghapusan
dosa, kita patut bersykur menjadi umat Nabi Muhammad yang terasa begitu
dimudahkan oleh Allah dalam hal ini. Dibandingkan umat terdahulu, proses dan
sarana penghapus dosa yang diberikan kepada kita jauh lebih mudah dan ringan.
Lihat saja cara penebusan dosa bani Israel yang berat dimana bunuh diri adalah
salah satunya. Sedangkan kita, tidak perlu menyakiti diri, cukup dengan memohon
ampun dan menyatakan bertaubat, dosa bisa dihapuskan. Lebih dari itu berbagai
amal kebaikan bisa membersihkan dosa sekaligus menambah pahala. Kalaupun ada
tuntutan hukuman, tapi didalamnya terdapat despensasi dan keringanan. Puji
syukur kepada Allah yang maha pengampun lagi maha penyayang. Karenanya,
meskipun makna kembali suci bukan makna yang sebenarnya dari iedul fithri, tapi
tentunya kitapun tidak akan menolak jika
pada hari ini kita menjadi suci karena
dosa-dosa terampuni. Dosa kepada Allah mendapat ampunan dengan amal
ibadah yang dilakukan selama Ramadhan, kesalahan terhadap sesama termaafkan,
dan dengan silaturrahim segala masalah dan perselisihan dapat terurai dan
terselesaikan. Untuk selanjutnya,
tinggal bersiap mengisi lembar-lembar hari yang masih putih bersih dengan
catatan amal yang lebih baik. Seperti kata-kata bijak, hidup manusia itu
seperti sebuah buku. Sampul depannya adalah
tanggal lahir dan ajalnya menjadi penutupnya. Lembarannya adalah hari-hari yang
dilalui, ada yang tebal ada yang tipis. Setiap hari manusia mencoreti lembaran
hidupnya. Ada coretan yang bermanfaat, tapi tak jarang pula berujud maksiat. Tapi
berkat kemurahan-Nya, seburuk apapun lembar yang telah kita lewati, masih ada
lembar berikutnya yang kosong, disediakan untuk memperbaiki semuanya. Nah, kita tidak tahu kapan kita akan ‘tutup
buku’. Karenanya, selagi masih menjumpai matahari terbit, ada satu lembar putih
yang insya Allah menjadi milik kita, untuk digunakan sebaik-baiknya.
Memperbaiki yang rusak di lembar sebelumnya dan menjadi titik tolak perbaikan
di lembar berikutnya hingga ajal tiba. Semoga di bulan ini, kita benar-benar
kembali suci dan dapat terus menjaga kesucian diri hingga akhir nanti. Amin.
Sempurnakan dengan
shaum Syawwal
Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Iedul
Fithtri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan yang
datang setelah Ramadhan ini, yaitu
disunnahkannya mengerjakan shaum selama enam hari. Bersabda Rasulullah SAW :
مَنْ
صَامَ رَمضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامٍ الدَّهْرِ
“Siapa yang mengerjakan shaum Ramadhan, kemudian ia
mengikutkannya dengan shaum enam hari di bulan Syawwal, maka shaumnya itu
seperti shaum setahun.” (HR. Muslim)
Kenapa
pahalanya seperti shaum setahun ? Para Ulama menafsirkan bahwa kebaikan itu
dilipat gandakan pahalanya menjadi sepuluh kali. Sehingga shaum Ramadhan yang
dikerjakan selama sebulan dilipat gandakan senilai sepuluh bulan. Sementara
shaum enam hari bila dilipat gandakan
sepuluh berarti memiliki nilai enam puluh hari yang berarti sama dengan dua
bulan. Sehingga bila seseorang menyempurnakan shaum Ramadhan ditambah dengan
shaum enam hari di bulan Syawwal, jadilah nilai shaumnya sama dengan shaum
setahun penuh (12 bulan).
Ya,
Ramadhan memang telah meninggalkan kita. Namun bukan berarti pupus sudah
harapan kita untuk meraih kebaikan demi kebaikan, karena bulan-bulan yang
datang setelah Ramadhan pun memberi peluang kepada kita untuk panen pahala.
Akhirnya kami ucapkan, taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah
menerima amalan kami dan amalan kalian). Semoga Allah menjadikan kita hamba
yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan. Amin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar