Selasa, 02 April 2013

NYADRAN di BULAN SYA’BAN


Jarum jam selalu berputar. Bergerak mengikuti porosnya. Setiap detik yang berlalu telah menjadi bagian dari masa lalu, dan kenangan bagi kita. Hari ini adalah kenyataan. Dan esok lusa adalah harapan. Setiap waktu yang bergulir, tanpa kita sadari ia bagai jam pasir kehidupan kita. Jika semakin berjalan, maka semakin berkurang juga jatah hidup kita di dunia ini. Sebagaimana perkataan Hasan al-Bashri, “Wahai Ibnu Adam. Sesungguhnya kalian adalah kumpulan dari hari-hari. Setiap waktu yang telah berlalu, maka berkurang pula jatah hidupmu.”
Bulan Rajab sudah berakhir dan berganti menjadi bulan Sya’ban. Kalau kita memutar jarum jam sejarah, akan kita dapati di mana pada bulan-bulan ini: Rajab dan Sya’ban, semangat para sahabat, tabi’in dan para penerusnya dalam melabuhkan do’a, bermunajat kepada Allah azza wa jalla sangat tinggi. Mereka berharap kepada Allah supaya mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Bulan penuh berkah. Bulan di mana setiap amalan dilipat gandakan. Bulan “kula’an” amal secara besar-besaran. Mereka berdo’a,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبٍ، وَشَعْبَانٍ، وَبَلَغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Dan pertemukan kami dengan bulan Ramadhan.”

Sya’ban dan Ruwah

Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Salah satu dari bulan-bualn yang diagungkan oleh orang-orang jawa. Para tokoh kejawen mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah. Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.
Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran. Kata nyadran sendiri berasal dari bahasa sansekerta dari kata Sraddha. Yang berarti, mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga. Secara sederhana Nyadran adalah kegiatan bersih makam yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat Jawa yang umumnya tinggal di pedesaan.Upacara Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352.
Walau tiap daerah ada perbedaan dalam tatacara pelaksanaan acara nyadran, biasanya prosesi ritual nyadran dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki biting (lidi). Kue-kue tersebut selain dibagi-bagikan kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe dalam kenduri. Salah satu acara puncaknya adalah dengan mengunjungi makam leluhur yang dilakukan secara bersama-sama, membersihkan makam dan menabur bunga.

Ziarah kubur dalam Islam

Rasulullah r pernah melarang melakukan ziarah kubur, walau kemudian beliau membolehkannya lagi dengan memberitahukan faedah yang terkandung dalam ziarah kubur. Sebagaimana sabda beliau,

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا

”Dahulu Aku melarang kalian melakukan ziarah kubur. Namun sekarang silahkan berziarah kubur” (HR Muslim).
Dalam riwayat Abu Dawud ditambahkan, “… karena dengan ziarah kubur dapat mengingat (kematian).”
Di lain riwayat Rasulullah r menganjurkan umatnya untuk memperbanyak mengingat kematian. Beliau bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (mati).”
Jadi ziarah kubur yang dimaksud Rasulullah adalah ziarah untuk bersyukur akan nikmat hidup dan mengingatkan diri yang lalai, bahwa ia tidak akan hidup kekal di dunia ini. Semua yang bernyawa akan merasakan kematian. Sebagaimana anjuran beliau untuk menjenguk orang sakit adalah untuk mengingat nikmat sehat  yang dibeikan Allah kepadanya. Bersyukur atas segala nikmat yang diberikan dan tidak kufur atasnya.
Sehingga jika kita ingin melakukan ziarah kubur, cukup dengan berziarah ke kubur terdekat yang ada di desa kita. Tidak perlu memberatkan diri dengan menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Terlebih dengan membatasi ziarah kubur ke makam-makam para wali, yang tentunya memerlukan perjalanan panjang nan melelahkan.
Rasulullah r telah mengingatkan kita secara tersirat, bahwa tidak diperkanankan untuk melakukan perjalanan jauh dan memberatkan hanya untuk ziarah kubur. Jangankan untuk ziarah kubur. Berkunjung ke masjid pun tidak diperkenakan oleh Rasulullah r jika hal itu memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan, kecuali hanya untuk tiga masjid saja. Sebagaimana sabda beliau, “Janganlah kalian menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan (dalam mendatangi masjid), kecuali untuk tiga masjid saja (yang dibolehkan menempuh pejalanan panjang dan melelahkan) : Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsho.” (HR Bukhori)

Mendo’akan arwah, tidak terbatas waktu dan tempat

Salah satu kewajiban anak kepada orang tuanya adalah mendo’akan kedua orang tua, selama mereka muslim. Do’a ini tidak terbatas waktu dan tempat. Tidak dikhususkan pada waktu tertentu, tidak pula diharuskan di suatu tempat tertentu. Selama itu bukan ditempat terlarang untuk berdo’a, semisal di toilet, maka diperbolehkan untuk  mendo’akan kedua orang tua. Dan tidak dianjurkan menempuh perjalanan panjang nan melelahkan “hanya” untuk mendo’akan mereka. Karena do’a yang dipanjatkan oleh anakyang sholih dan sholihah kepada kedua orang tuanya akan sampai dan menjadi tambahan pahala bagi mereka. Tambahan yang tidak akan lekang oleh zaman walau jiwa kedua orang tua sudah hilang dimakan tanah, seiring perputaran waktu. Rasulullah r menegaskan,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ

"Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; Sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya." (HR Tirmidzi)
Jadi do’a anak sholih dan sholihah kepada orang tuanya bisa dilakukan di mana saja, kapan saja tanpa harus mendatangi kuburannya, terlebih mengkhususkan pada bulan Sya’ban. Atau yang biasa dikenal oleh orang jawa dengan bulan Ruwah.
Akan lebih berbahaya lagi jika ternyata kedatangannya ke kuburan bukan sekedar  mendo’akan orang yang sudah wafat, melainkan malah berdo’a kepada mereka. Atau menjadikan mereka sebagai perantara untuk berdo’a sembari membakar kemenyan. Seakan berfilosofi dengan kemenyan itu, bahwa do’a akan sampai ke atas sebagaimana asap kemenyan itu ke atas. Jika sekiranya hal itu dibenarkan oleh syari’at, tentulah para sahabat dan tabi’in adalah orang yang paling bersemangat dalam menapaki sunnah-sunnah Nabi akan melakukannya terlebih dahulu. Karena mereka adalah sebaik-baik contoh setelah Rasulullah r, dan mereka tidak mencontohkan hal itu kepada kita, maka alangkah bijaksana jika kita mencontoh mereka dalam amalan berkaitan dengan bulan Sya’ban ini. Yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah, dan memperbanyak melabuhkan do’a supaya Allah memperpanjang umur kita dan mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan.
Tidak semua yang baik menurut pandangan manusia, itu baik juga menurut Allah I dan syari’at Islam. Karena untuk perkara syari’at, semua ada aturannya. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dan semau sendiri-sendiri yang menuruti keinginan sendiri-sendiri. Boleh jadi seseorang memandang apa yang dia ucapakan dan dia lakukan adalah hal yang sepele dan biasa saja. Namun bagi Allah itu adalah perkara besar yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang api neraka. Wallau a’lam bish showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar