Jarum jam selalu berputar. Bergerak mengikuti porosnya. Setiap detik
yang berlalu telah menjadi bagian dari masa lalu, dan kenangan bagi kita. Hari
ini adalah kenyataan. Dan esok lusa adalah harapan. Setiap waktu yang bergulir,
tanpa kita sadari ia bagai jam pasir kehidupan kita. Jika semakin berjalan,
maka semakin berkurang juga jatah hidup kita di dunia ini. Sebagaimana
perkataan Hasan al-Bashri, “Wahai Ibnu Adam. Sesungguhnya kalian adalah
kumpulan dari hari-hari. Setiap waktu yang telah berlalu, maka berkurang pula
jatah hidupmu.”
Bulan Rajab sudah berakhir dan berganti menjadi bulan Sya’ban. Kalau
kita memutar jarum jam sejarah, akan kita dapati di mana pada bulan-bulan ini:
Rajab dan Sya’ban, semangat para sahabat, tabi’in dan para penerusnya dalam
melabuhkan do’a, bermunajat kepada Allah azza wa jalla sangat tinggi. Mereka
berharap kepada Allah supaya mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Bulan
penuh berkah. Bulan di mana setiap amalan dilipat gandakan. Bulan “kula’an”
amal secara besar-besaran. Mereka berdo’a,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ
رَجَبٍ، وَشَعْبَانٍ، وَبَلَغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Dan
pertemukan kami dengan bulan Ramadhan.”
Sya’ban dan Ruwah
Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan
Ruwah. Salah satu dari bulan-bualn yang diagungkan oleh orang-orang jawa. Para
tokoh kejawen mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah.
Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang
tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.
Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran.
Kata nyadran sendiri berasal dari bahasa sansekerta dari kata Sraddha. Yang
berarti, mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga.
Secara sederhana Nyadran adalah kegiatan bersih makam yang dilakukan secara
bersama-sama oleh masyarakat Jawa yang umumnya tinggal di pedesaan.Upacara
Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul
Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara Sraddha pernah
dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352.
Walau tiap daerah ada perbedaan dalam tatacara pelaksanaan acara
nyadran, biasanya prosesi ritual nyadran dimulai dengan membuat kue apem,
ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu
tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki biting (lidi).
Kue-kue tersebut selain dibagi-bagikan kepada sanak saudara yang lebih tua,
juga menjadi ubarampe dalam kenduri. Salah satu acara puncaknya adalah dengan
mengunjungi makam leluhur yang dilakukan secara bersama-sama, membersihkan
makam dan menabur bunga.
Ziarah kubur dalam Islam
Rasulullah r pernah
melarang melakukan ziarah kubur, walau kemudian beliau membolehkannya lagi
dengan memberitahukan faedah yang terkandung dalam ziarah kubur. Sebagaimana
sabda beliau,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
”Dahulu Aku melarang kalian melakukan ziarah kubur. Namun sekarang
silahkan berziarah kubur” (HR Muslim).
Dalam riwayat Abu Dawud ditambahkan, “… karena dengan ziarah
kubur dapat mengingat (kematian).”
Di lain riwayat Rasulullah r menganjurkan umatnya untuk memperbanyak mengingat kematian. Beliau
bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (mati).”
Jadi ziarah kubur yang dimaksud Rasulullah adalah ziarah untuk
bersyukur akan nikmat hidup dan mengingatkan diri yang lalai, bahwa ia tidak
akan hidup kekal di dunia ini. Semua yang bernyawa akan merasakan kematian.
Sebagaimana anjuran beliau untuk menjenguk orang sakit adalah untuk mengingat
nikmat sehat yang dibeikan Allah
kepadanya. Bersyukur atas segala nikmat yang diberikan dan tidak kufur atasnya.
Sehingga jika kita ingin melakukan ziarah kubur, cukup dengan
berziarah ke kubur terdekat yang ada di desa kita. Tidak perlu memberatkan diri
dengan menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Terlebih dengan membatasi
ziarah kubur ke makam-makam para wali, yang tentunya memerlukan perjalanan
panjang nan melelahkan.
Rasulullah r telah
mengingatkan kita secara tersirat, bahwa tidak diperkanankan untuk melakukan
perjalanan jauh dan memberatkan hanya untuk ziarah kubur. Jangankan untuk
ziarah kubur. Berkunjung ke masjid pun tidak diperkenakan oleh Rasulullah r jika hal itu memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan,
kecuali hanya untuk tiga masjid saja. Sebagaimana sabda beliau, “Janganlah
kalian menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan (dalam mendatangi
masjid), kecuali untuk tiga masjid saja (yang dibolehkan menempuh pejalanan
panjang dan melelahkan) : Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan
Masjidil Aqsho.” (HR Bukhori)
Mendo’akan arwah, tidak terbatas waktu dan tempat
Salah satu kewajiban anak kepada orang tuanya adalah mendo’akan
kedua orang tua, selama mereka muslim. Do’a ini tidak terbatas waktu dan
tempat. Tidak dikhususkan pada waktu tertentu, tidak pula diharuskan di suatu
tempat tertentu. Selama itu bukan ditempat terlarang untuk berdo’a, semisal di
toilet, maka diperbolehkan untuk
mendo’akan kedua orang tua. Dan tidak dianjurkan menempuh perjalanan
panjang nan melelahkan “hanya” untuk mendo’akan mereka. Karena do’a yang
dipanjatkan oleh anakyang sholih dan sholihah kepada kedua orang tuanya akan
sampai dan menjadi tambahan pahala bagi mereka. Tambahan yang tidak akan lekang
oleh zaman walau jiwa kedua orang tua sudah hilang dimakan tanah, seiring
perputaran waktu. Rasulullah r
menegaskan,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا
مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو
لَهُ
"Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya
kecuali tiga hal; Sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang
mendoakannya." (HR Tirmidzi)
Jadi do’a anak sholih dan sholihah kepada orang tuanya bisa
dilakukan di mana saja, kapan saja tanpa harus mendatangi kuburannya, terlebih
mengkhususkan pada bulan Sya’ban. Atau yang biasa dikenal oleh orang jawa
dengan bulan Ruwah.
Akan lebih berbahaya lagi jika ternyata kedatangannya ke kuburan
bukan sekedar mendo’akan orang yang
sudah wafat, melainkan malah berdo’a kepada mereka. Atau menjadikan mereka
sebagai perantara untuk berdo’a sembari membakar kemenyan. Seakan berfilosofi
dengan kemenyan itu, bahwa do’a akan sampai ke atas sebagaimana asap kemenyan
itu ke atas. Jika sekiranya hal itu dibenarkan oleh syari’at, tentulah para
sahabat dan tabi’in adalah orang yang paling bersemangat dalam menapaki sunnah-sunnah
Nabi akan melakukannya terlebih dahulu. Karena mereka adalah sebaik-baik contoh
setelah Rasulullah r, dan
mereka tidak mencontohkan hal itu kepada kita, maka alangkah bijaksana jika
kita mencontoh mereka dalam amalan berkaitan dengan bulan Sya’ban ini. Yaitu
dengan memperbanyak melakukan ibadah, dan memperbanyak melabuhkan do’a supaya
Allah memperpanjang umur kita dan mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan.
Tidak semua yang baik menurut pandangan manusia, itu baik juga
menurut Allah I dan
syari’at Islam. Karena untuk perkara syari’at, semua ada aturannya. Tidak bisa
berjalan sendiri-sendiri dan semau sendiri-sendiri yang menuruti keinginan
sendiri-sendiri. Boleh jadi seseorang memandang apa yang dia ucapakan dan dia
lakukan adalah hal yang sepele dan biasa saja. Namun bagi Allah itu adalah
perkara besar yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang api neraka. Wallau
a’lam bish showab

Tidak ada komentar:
Posting Komentar